Minggu, 13 November 2016

Perbincangan dengan Seorang Teman yang Sangat Benci Syiah

26    ug 2016, 2319 Views

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman yang sangat membenci Syiah. Dia rajin memposting status, membagikan meme dan berbagai konten tentang kesesatan Syiah, di akun media sosial miliknya. Yang semacam itulah; bahwa golongan ini tidak termasuk Islam, dilaknat Allah, hasil konspirasi Yahudi, dan seterusnya.
Karena saya berusaha yakin bahwa niatnya sesungguhnya baik, saya sampaikan pujian tentang semangatnya menjaga kemurnian akidah.
“Tapi omong-omong, kau tahu bahwa di antara aliran-aliran besar, hanya Syiah dan kita yang bermazhab Syafi’i yang mengeraskan bacaan basmalah dalam salat Subuh, Magrib, dan Isya?”
“Oh, ya?” katanya seperti kaget.
“Bahwa kedua aliran ini juga sama-sama membacakan doa qunut dalam salat Subuh, tahu?”
“Baru tahu aku...” katanya lagi, kemudian melanjutkan, “Tapi kan ‘cuma’ perkara sunat itu. Bukan soal besar. Persoalan besarnya tentang akidah. Mereka punya syahadat Ali. Rusaknya di situ...” katanya.
“Iya, sih. Mereka bahkan membacakan syahadat itu dalam azan, makanya azan mereka jadi lebih panjang. Kau tahu lafal syahadat Ali?”
“Buat apa tahu? Membacanya akan membuat kita jadi kafir!”
“Lho, lafalnya saja kau tak tahu, bagaimana bisa kau simpulkan ia akan membuat kita kafir?”
“Emang lafalnya gimana, sih?”
Asyhadu anna ‘Aliyan waliyullah...”
“Nah, itu! Mengakui ada nabi setelah Rasulullah SAW, otomatis membuat seseorang kafir!” katanya dengan nada kemenangan.
“Tapi artinya bukan itu, sih... ‘Aku bersaksi bahwa Ali itu wali Allah’. Jangankan Ali, para penyebar Islam di Jawa dan di kota Barus pun kita akui sebagai wali-wali atau aulia Allah...”
“Jadi, maksudmu Syiah itu bukan kafir, menurutmu mereka masih Islam? Hati-hati kau, Coy...”
“Aku tak merasa berhak menilai apakah seseorang sudah kafir. Islam-ku saja belum bisa kujamin, kok. Jika kau mengingatkanku berhati-hati dalam menganggap orang masih Islam, aku rasa kita perlu lebih hati-hati lagi dalam memvonis orang sudah keluar Islam. Bahkan menurutku, sebaiknya tinggalkan itu jadi urusan Allah.
Yang jelas, kulihat pemerintah Arab Saudi, yang bermazhab Hambali dan "submazhab" Wahabi, yang jauh lebih "keras" dari kita pun, masih mengizinkan orang Syiah melaksanakan ibadah haji. Padahal dua kota itu, Makkah dan Madinah, apalagi dua masjid itu, Al Haram dan Nabawi, terlarang bagi yang bukan Islam...”
Kami agak lama sama-sama terdiam. Biar jangan jadi canggung, kulanjutkan lagi. “Kau jangan salah sangka aku sudah masuk Syiah pula. Hahaha... Aku cuma tak ingin kau membenci sesuatu yang sama sekali tak kau kenali. Kalau setelah tahu beberapa hal tentang Syiah kau masih benci dan tetap menganggap mereka sesat, tak mengapa. Tetapi setidaknya, kebencian dan anggapanmu itu sudah punya dasar, sudah lebih terukur...”
“Memangnya kebencian bisa diukur?” tanyanya. Temanku ini memang gemar betul mengganti topik pembicaraan secara acak.
“Semua bisa diukur, kecuali Allah...”
“Luasnya alam semesta?”
“Bedakan tidak bisa dengan belum bisa. Insya Allah, suatu saat bisa diukur karena selain Allah pasti punya batas, dan yang punya batas pasti bisa diukur...”
Dia kembali diam. “Ya, jangan salah sangka, ya. Aku juga pernah kok ngajak ngobrol kerabatku yang tampaknya tergila-gila dengan ajaran Syiah, dan sudah mulai pula berani mengkritik sahabat utama Nabi, seperti Abubakar dan Umar, radhiallahu anhuma. Kacau kali!
Kubilang sama dia, bagaimana bisa kau membenci kedua sahabat besar itu, sedangkan Nabi Muhammad dan Sayidina Ali yang kaubilang sangat kau cintai, sampai akhir hayat mereka begitu mencintai dan menghormati keduanya? Bukankah seorang pencinta harus mengikut jalan orang yang dicintainya? Jika mereka malah berselisih jalan, di manakah gerangan cinta akan ditemukan?”
“Jadi, macam mana katanya?” tanyanya. Ada sedikit semangat yang muncul dalam pertanyaan itu.
"Dengan izin Allah, dia tampaknya sudah berubah. Bahkan menurut pengakuannya, dia sekarang getol mengingatkan kawan-kawannya yang sama-sama tertarik ajaran Syiah, untuk berhenti mencela sahabat. Dia sering bilang, lebih mencintai Ali, silakan. Mencela sahabat yang lain, hentikan.”
==

Wawancara Dr. Ahmad Thayyib, Dekan Al-Azhar di Channel Nil Mesir

Wartawan: Bagaimana ajaran Syiah menurut Anda??
Dr. Thayyib: Tidak ada masalah dengan ajaran Syiah. 50 tahun lalu, Syaikh Syaltut berfatwa bhw Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam dan sama spt mazhab2 Islam yg lain.

T: Anak2 kita akan menjadi Syiah. Apa tindakan kita?
J: Biar saja mereka menjadi Syiah. Apakah kita akan menyalahkan orang yg berpindah mazhab dari Hanafi ke Maliki? Mereka (yg menjadi Syiah) hanya berpindah dr mazhab keempat ke mazhab kelima.

T: Orang Syiah menjadi kerabat kita. Mereka menikah dengan anak2 kita.
J: Apa masalahnya? Pernikahan antar mazhab itu dibolehkan.

T: Kabarnya Alquran mereka berbeda dengan Alquran kita.
J: Itu omong kosong. Tidak ada perbedaan antara Alquran kita dan mereka. Bahkan rasmul khat mereka sama dengan Alquran kita.

T: 23 ulama dari sebuah negara (Saudi) berfatwa bahwa Syiah adalah kafir dan rafidhi.
J: Hanya Al-Azhar yg bisa berfatwa utk muslimin. Fatwa mereka (ulama Saudi) tidak kredibel.

T: Lalu bagaimana dengan perselisihan Syiah-Sunni yg dikemukakan mereka?
J: Perselisihan itu adalah politik luar negeri yg ingin memecah belah Syiah dan Sunni.

T: Saya punya pertanyaan serius. Syiah tidak menerima Abu Bakar dan Umar. Bagaimana bisa Anda menyebut mereka muslim?
J:Memang mereka tidak menerima. Tapi apakah meyakini Abu Bakar dan Umar termasuk prinsip agama Islam? Kisah ttg mereka berdua adalah kisah sejarah. Sejarah tidak berkaitan dengan prinsip akidah.

Wartawan yg terhenyak mendengar jawaban ini, lalu bertanya: Ada satu kritikan terhadap Syiah. Mereka berkata bahwa imam zaman mereka masih hidup semenjak 1000 tahun lalu.
J: Mungkin saja,kenapa tidak mungkin? Tapi tak ada alasan kita mesti berkeyakinan sama spt mereka.

T: Mungkinkah bocah berusia 8 thn menjadi imam? Syiah meyakini bahwa bocah berusia 8 tahun menjadi imam.
J: Kalau bayi dalam buaian bisa menjadi nabi,tidak mengherankan bocah usia 8 thn menjadi imam. Meski kita sbg Ahlussunnah tidak meyakini hal ini. Tapi keyakinan ini tidak merusak keislaman mereka. Mereka tetap org muslim.

Setelah mendengar wawancara di atas, Dr. Shojaei Fard,dosen ilmu mekanik di Universitas Elm va Shanat, berkata,"Wawancara ini sangat menarik untuk saya. Saya berusaha menghubungi Syaikh Thayyib utk berterima kasih kepadanya. Melalui telpon saya berkata kepada beliau,"Anda membela Syiah dengan sangat baik. Bahkan seorang ulama Syiah pun mungkin tidak akan melakukan pembelaan serupa. Minimal dia akan bersikap hati-hati. Tapi Anda berani mengatakan bahwa keyakinan kepada Abu Bakar dan Umar bukan bagian dari prinsip Islam.

"Syaikh Thayyib berkata,"Saat Ayatullah Khamenei menghadapi Amerika dengan teguh dan membuat mereka bertekuk lutut dalam masalah nuklir, dan di sisi lain, Syd Hasan Nasrullah melawan Zionis dengan berani dan mengalahkan merka dalam perang 33 hari, saya melihat mereka sebagai kebanggaan Islam. Amerika dan kawan2nya berniat mencitrakan mereka sebagai Syiah radikal dan menyebut Syiah sbg rafidhi nonmuslim demi mengambil kebanggaan ini dari Dunia Islam. Supaya para pemuda kita merasa bahwa kebanggaan ini milik Islam, saya telah mengadakan 8 acara televisi untuk mengatakan bahwa Syiah adalah muslim, Syiah tidak berbeda dengan kita, dan Syiah adalah salah satu mazhab Islam."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar