Senin, 14 Desember 2015

Politisasi Haji Arab Saudi

Setelah melalui upaya negosiasi berbulan-bulan, akhirnya Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, Ali Jannati, mengumumkan bahwa tahun ini rakyat Iran tidak dapat mengikuti ibadah haji. Jannati menyatakan bahwa keputusan ini diambil karena pemerintah Arab Saudi tidak mau memberikan jaminan keamanan kepada jamaah haji Iran dan mempersulit pengurusan visa haji. Sementara itu, dari Qom, Grand Ayatullah Makarim Shirazi mendukung keputusan pemerintah Iran dan mengecam keras pemerintah Saudi yang telah ‘memperlakukan Haramain sebagai properti pribadi’. Shirazi juga memberikan informasi tambahan bahwa akhir-akhir ini Imam Jumat di Saudi melakukan propaganda anti-Syiah secara masif, sehingga jamaah haji Iran menghadapi bahaya besar, yaitu serangan dari kaum muda Saudi takfiri.
Sebaliknya, Arab Saudi dan Liga Arab memberikan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan Iran, menyebut negeri Persia itu telah ‘mempolitisasi haji untuk menarget Saudi’. Menlu Arab Saudi menyatakan bahwa alasan utama macetnya negosiasi adalah karena Iran meminta diberi kebebasan untuk melakukan demonstrasi, sebuah tradisi yang dilakukan oleh jamaah Iran setiap musim haji.
Di balik perang pernyataan dari kedua pihak tersebut, muncul pertanyaan, siapakah yang sebenarnya mempolitisasi haji? Bila kita sedikit menggunakan perspektif realis yang umum dipakai dalam menganalis Hubungan Internasional, hitung-hitungan untung rugi material dan kepentingan nasional penting dicermati. Bila disebut Arab Saudi ‘rugi’ karena kehilangan jamaah haji dari Iran, agaknya kurang tepat karena jumlahnya hanya sekitar 64.000 orang, yang dapat digantikan oleh jamaah haji dari negara-negara lain yang over kuota. Sebaliknya, kepentingan politik Arab Saudi justru diuntungkan dengan tidak hadirnya jamaah haji Iran. Sebagaimana diketahui, sejak 1981 atas perintah Ayatullah Khomeini, jamaah Iran biasa mengadakan orasi publik di padang Arafah, menyerukan persatuan Islam, serta mengecam Barat dan Israel yang selama ini mengobarkan perang di negeri-negeri Muslim.
Demonstrasi damai yang digelar Iran itu memang sangat ‘mengganggu’ rezim Bani Saud. Bukan rahasia lagi bahwa Arab adalah sekutu dekat Barat dan Israel. Meskipun secara resmi Israel dan Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik, namun kerjasama di antara keduanya tidak bisa ditutupi. Di antaranya, Arab Saudi membiayai operasi-operasi intelijen Israel melawan Iran, Arab Saudi menyewa perusahaan keamanan Zionis, G4S untuk mengamankan haji, dan sebaliknya, Israel membantu Arab Saudi untuk menginvasi Yaman. Pada pada tahun 1987, tentara Saudi memblokade para demonstran Iran serta menembaki mereka, 400 lebih tewas dan ribuan lainnya terluka. Iran merespon aksi brutal Saudi dengan memboikot ritual haji (tidak mengirimkan jamaah haji) mulai 1988-1990.
Selain itu, seiring dengan propaganda masif Arab Saudi dan sekutunya, tidak hadirnya jamaah haji Iran telah dimanfaatkan untuk semakin mengucilkan Iran di Dunia Islam (dan menjadi justifkasi bagi kelompok anti-Syiah yang selama ini direpotkan oleh argumen ‘Syiah adalah bagian dari Islam, buktinya mereka hadir dalam ritual haji dan umrah’). Sebaliknya, berbagai sisi, Iran adalah pihak yang paling dirugikan dalam kasus ini. Jadi, aneh bila dikatakan bahwa Iran-lah yang mempolitisasi haji.
Menurut kantor berita IRNA, upaya Saudi dalam menghalangi kedatangan jamaah haji Iran terlihat sejak negosiasi pertama antara Tehran and Riyadh. Negosiasi semula direncanakan bulan Januari, namun ditunda-tunda oleh pihak Saudi hingga akhir April. Dalam negosiasi itu, Saudi menolak permohonan visa dari Iran serta menolak masuknya maskapai Iran Airlines ke Saudi (artinya jamaah haji Iran harus menggunakan maskapai lain). Iran sudah menawarkan agar dibagi 2: 50% jamaah diangkut dengan Iran Airlines, 50% lagi dengan maskapai milik Saudi, namun tetap ditolak. Pertemuan kedua juga tertunda 45 hari dari yang dijanjikan dan Saudi tidak melakukan langkah apapun terkait visa (seharusnya, sesuai janji, Saudi menandatangani perjanjian dengan Swiss, sehingga visa jamaah haji Iran bisa dikeluarkan oleh Kedutaan Swiss di Tehran).
Menurut Saeed Ohadi, Kepala Organisasi Haji dan Ziarah Iran, dalam pertemuan terakhir, Menteri Haji Saudi bahkan tidak hadir dan lewat telepon meminta Iran agar menandatangani MoU (perjanjian) yang mereka sodorkan, serta hanya menjanjikan ‘akan meninjau tuntutan Iran’. Pihak Iran menolak janji yang meragukan ini, sehingga tidak mau menandatangani. Tanggal 29 Mei adalah batas waktu yang diberikan Iran kepada Saudi untuk memberikan persetujuannya atas permintaan Iran, dan ternyata pihak Saudi sama sekali tidak memenuhinya.
Masalah terpenting yang dituntut Iran adalah jaminan keamanan dari pihak Saudi, mengingat Iran telah menjadi korban dari kelalaian sekuriti Saudi. Pertama, kasus pelecehan seksual (perkosaan) yang dilakukan oleh sekuriti Saudi terhadap dua remaja laki-laki Iran saat menunaikan umrah tahun 2015. Iran telah menuntut Saudi mengadili pelaku perkosaan itu dan tidak akan mengirim jamaah umrah hingga kasus ini tuntas. Kedua, tragedi Mina yang menewaskan 2.411 jamaah haji dari berbagai negara (Iran memperkirakan jumlah korban tewas sebeanrnya di atas 4000), dan Iran adalah salah satu negara dengan korban terbanyak (464). Pemerintah Iran pun mengaku dipersulit oleh rezim Saudi saat mengevakuasi jenazah warga negaranya. Arab Saudi hingga kini tidak mau minta maaf, tidak mengaku bersalah, dan bahkan beberapa warga Iran masih hilang dan tidak ada upaya rezim Saud membantu Iran menemukan warganya. Kedua kasus ini kemudian disusul oleh pemenggalan ulama Syiah terkemuka di Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr. Iran mengecam keras pemenggalan ini dan ditanggapi reaktif oleh Saudi dengan cara memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Rekam jejak Saudi yang berkali-kali gagal melindungi keamanan jamaah haji dan menggunakan kekuasaannya atas Haramain untuk kepentingan politik (korban selain Iran adalah Yaman dan Nigeria), membuat usulan Iran selama ini agar pengelolaan haji diserahkan kepada OKI menjadi sangat masuk akal.[DS]