Senin, 14 Desember 2015

Politisasi Haji Arab Saudi

Setelah melalui upaya negosiasi berbulan-bulan, akhirnya Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, Ali Jannati, mengumumkan bahwa tahun ini rakyat Iran tidak dapat mengikuti ibadah haji. Jannati menyatakan bahwa keputusan ini diambil karena pemerintah Arab Saudi tidak mau memberikan jaminan keamanan kepada jamaah haji Iran dan mempersulit pengurusan visa haji. Sementara itu, dari Qom, Grand Ayatullah Makarim Shirazi mendukung keputusan pemerintah Iran dan mengecam keras pemerintah Saudi yang telah ‘memperlakukan Haramain sebagai properti pribadi’. Shirazi juga memberikan informasi tambahan bahwa akhir-akhir ini Imam Jumat di Saudi melakukan propaganda anti-Syiah secara masif, sehingga jamaah haji Iran menghadapi bahaya besar, yaitu serangan dari kaum muda Saudi takfiri.
Sebaliknya, Arab Saudi dan Liga Arab memberikan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan Iran, menyebut negeri Persia itu telah ‘mempolitisasi haji untuk menarget Saudi’. Menlu Arab Saudi menyatakan bahwa alasan utama macetnya negosiasi adalah karena Iran meminta diberi kebebasan untuk melakukan demonstrasi, sebuah tradisi yang dilakukan oleh jamaah Iran setiap musim haji.
Di balik perang pernyataan dari kedua pihak tersebut, muncul pertanyaan, siapakah yang sebenarnya mempolitisasi haji? Bila kita sedikit menggunakan perspektif realis yang umum dipakai dalam menganalis Hubungan Internasional, hitung-hitungan untung rugi material dan kepentingan nasional penting dicermati. Bila disebut Arab Saudi ‘rugi’ karena kehilangan jamaah haji dari Iran, agaknya kurang tepat karena jumlahnya hanya sekitar 64.000 orang, yang dapat digantikan oleh jamaah haji dari negara-negara lain yang over kuota. Sebaliknya, kepentingan politik Arab Saudi justru diuntungkan dengan tidak hadirnya jamaah haji Iran. Sebagaimana diketahui, sejak 1981 atas perintah Ayatullah Khomeini, jamaah Iran biasa mengadakan orasi publik di padang Arafah, menyerukan persatuan Islam, serta mengecam Barat dan Israel yang selama ini mengobarkan perang di negeri-negeri Muslim.
Demonstrasi damai yang digelar Iran itu memang sangat ‘mengganggu’ rezim Bani Saud. Bukan rahasia lagi bahwa Arab adalah sekutu dekat Barat dan Israel. Meskipun secara resmi Israel dan Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik, namun kerjasama di antara keduanya tidak bisa ditutupi. Di antaranya, Arab Saudi membiayai operasi-operasi intelijen Israel melawan Iran, Arab Saudi menyewa perusahaan keamanan Zionis, G4S untuk mengamankan haji, dan sebaliknya, Israel membantu Arab Saudi untuk menginvasi Yaman. Pada pada tahun 1987, tentara Saudi memblokade para demonstran Iran serta menembaki mereka, 400 lebih tewas dan ribuan lainnya terluka. Iran merespon aksi brutal Saudi dengan memboikot ritual haji (tidak mengirimkan jamaah haji) mulai 1988-1990.
Selain itu, seiring dengan propaganda masif Arab Saudi dan sekutunya, tidak hadirnya jamaah haji Iran telah dimanfaatkan untuk semakin mengucilkan Iran di Dunia Islam (dan menjadi justifkasi bagi kelompok anti-Syiah yang selama ini direpotkan oleh argumen ‘Syiah adalah bagian dari Islam, buktinya mereka hadir dalam ritual haji dan umrah’). Sebaliknya, berbagai sisi, Iran adalah pihak yang paling dirugikan dalam kasus ini. Jadi, aneh bila dikatakan bahwa Iran-lah yang mempolitisasi haji.
Menurut kantor berita IRNA, upaya Saudi dalam menghalangi kedatangan jamaah haji Iran terlihat sejak negosiasi pertama antara Tehran and Riyadh. Negosiasi semula direncanakan bulan Januari, namun ditunda-tunda oleh pihak Saudi hingga akhir April. Dalam negosiasi itu, Saudi menolak permohonan visa dari Iran serta menolak masuknya maskapai Iran Airlines ke Saudi (artinya jamaah haji Iran harus menggunakan maskapai lain). Iran sudah menawarkan agar dibagi 2: 50% jamaah diangkut dengan Iran Airlines, 50% lagi dengan maskapai milik Saudi, namun tetap ditolak. Pertemuan kedua juga tertunda 45 hari dari yang dijanjikan dan Saudi tidak melakukan langkah apapun terkait visa (seharusnya, sesuai janji, Saudi menandatangani perjanjian dengan Swiss, sehingga visa jamaah haji Iran bisa dikeluarkan oleh Kedutaan Swiss di Tehran).
Menurut Saeed Ohadi, Kepala Organisasi Haji dan Ziarah Iran, dalam pertemuan terakhir, Menteri Haji Saudi bahkan tidak hadir dan lewat telepon meminta Iran agar menandatangani MoU (perjanjian) yang mereka sodorkan, serta hanya menjanjikan ‘akan meninjau tuntutan Iran’. Pihak Iran menolak janji yang meragukan ini, sehingga tidak mau menandatangani. Tanggal 29 Mei adalah batas waktu yang diberikan Iran kepada Saudi untuk memberikan persetujuannya atas permintaan Iran, dan ternyata pihak Saudi sama sekali tidak memenuhinya.
Masalah terpenting yang dituntut Iran adalah jaminan keamanan dari pihak Saudi, mengingat Iran telah menjadi korban dari kelalaian sekuriti Saudi. Pertama, kasus pelecehan seksual (perkosaan) yang dilakukan oleh sekuriti Saudi terhadap dua remaja laki-laki Iran saat menunaikan umrah tahun 2015. Iran telah menuntut Saudi mengadili pelaku perkosaan itu dan tidak akan mengirim jamaah umrah hingga kasus ini tuntas. Kedua, tragedi Mina yang menewaskan 2.411 jamaah haji dari berbagai negara (Iran memperkirakan jumlah korban tewas sebeanrnya di atas 4000), dan Iran adalah salah satu negara dengan korban terbanyak (464). Pemerintah Iran pun mengaku dipersulit oleh rezim Saudi saat mengevakuasi jenazah warga negaranya. Arab Saudi hingga kini tidak mau minta maaf, tidak mengaku bersalah, dan bahkan beberapa warga Iran masih hilang dan tidak ada upaya rezim Saud membantu Iran menemukan warganya. Kedua kasus ini kemudian disusul oleh pemenggalan ulama Syiah terkemuka di Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr. Iran mengecam keras pemenggalan ini dan ditanggapi reaktif oleh Saudi dengan cara memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Rekam jejak Saudi yang berkali-kali gagal melindungi keamanan jamaah haji dan menggunakan kekuasaannya atas Haramain untuk kepentingan politik (korban selain Iran adalah Yaman dan Nigeria), membuat usulan Iran selama ini agar pengelolaan haji diserahkan kepada OKI menjadi sangat masuk akal.[DS]


Minggu, 02 Agustus 2015

Bocoran Jawaban Siapa Imammu dalam Kubur


Berikut Adalah Soal Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir Kepada Mayat/Mayit di Alam Kubur (Alam Barzah):

1. Siapa Tuhanmu?
2. Siapa Nabimu?
3. Apa Agamamu?
4. Siapa Imammu?
5. Dimana Kiblatmu?
6. Siapa Saudaramu?

Berikut Ini Adalah Jawaban Atas Pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir :
1. Siapa Tuhanmu? Allah SWT
2. Siapa Nabimu? Muhammad SAW
3. Apa Agamamu? Islam
4. Siapa Imammu? Al-Quran
5. Dimana Kiblatmu? Ka'bah
6. Siapa Saudaramu? Muslimin dan Muslimat

Sinar Agama
(1). Sengaja tidak sebut pertanyaan: Apa kitabmu? Karena akan sama dengan jawaban "Siapa imammu?". Padahal kan tidak mungkin malaikatnya lupa.

(2). Kalaulah kamu sudah berimam pada Qur an, apakah kamu sudah membuat negara yang berhukum Qur an? Karena imam kan menjadikannya pemimpin dalam semua hal terutama kenegaraan.

(3). Qur an sendiri mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
(QS: 4: 59)

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian kepada Rasul dan Pemimpin/imam diantara kalian!"

Kalau kamu mau ikut Qur an, maka Qur an sendiri meewajibkanmu mengikuti PEMIMPIN DIANTARA KITA MANUSIA. Jadi, imam dan pemimpn itu adalah MANUSIA, bukan kitab.

(4). Syarat imam harus maksum as, QS: 76: 24:
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا

"Sabarlah dengan hukum Tuhanmu dan jangan ikuti orang-orang yang memiliki dosa (berdosa) dan orang-orang yang kafir!!!"

Jadi, imam itu disamping manusia, ia juga harus/wajib maksum alias tidak punya dosa. Karena itu, karena yang tahu kemaksuman ini hanya Allah dan NabiNya saww (setelah diberitahu Allah), maka Pemimpin atau Imam ini tidak bisa dipemilukan, akan tetapi harus ditentukan dan ditunjuk Allah.

(5). Imam Maksum inilah yang akan membawa shiratu al-mustaqim, jalan lurus yang Qur an sendiri mengatakan SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI KESALAHAN, yang diungkap dengan WA LAA AL-DHAALLIIN (tidak salah sama sekali). Nah, kalau ilmu Islam dan amal2 Islamnya tidak salah sama sekali, berarti ilmu dan amalnya mesti sama seperti Nabi saww, artinya jalan ini mesti berupa jalannya orang maksum. Karena itu, kalau maksum ini tidak ada setelah Nabi saww, berarti Tuhan berdusta kepada kita dan menipu kita manakala mewajibkan kita meminta kepadaNya dalam setiap shalat untuk ditunjuki kepada jalan lurus itu, karena jalan lurus tersebut tidak ada karena ketidak adaan orang maksum ini. Padalah kan Tuhan tidak mungkin menipu kita dan membohongi kita?

Dengan demikian, maka ketika Tuhan mewajibkan di setiap shalat membaca alfatihah, dimana ada permintaan jalan lurus, dimana jalan lurus ini adalah jalan maksum, maka sudah jelas bahwa jalan lurus itu ada, yakni jalan maksum ini ada. Itulah imam yang wajib ditaati yang tidak boleh memiliki dosa itu.

(6). Karena maksum ini tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah secara langsung dan oleh Nabi saww secara tidak langsung (karna diberi tahu Allah), maka Tuhan sengaja di dalam Qur an memngumumakaan akan adanya orang-orang maksum yang disebut Ahlulbait as ini.
Perhatikan QS: 33: 33:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا


"Sesungguhnya Allah hanya ingin menghilangkan segala kekotoran (dosa) dari kalian wahai Ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih bersihnya."

Dan sesuai dengan kesaksian puluhan atau ratusan hadits sunni, Ahlulbait as itu adalah siti Faathimah as, imam Ali as, imam Hasan as, dan imam Husain as. Tentu saja karena hanya meraka yang lahir pad awaktu itu. Kalau tidak maka 9 imam-imam lainnya adalah Ahlulbait dan maksum as. Sampai2 hal tsb disaksikan oleh setidaknya dua Istri Nabi saww bahwa maksud Ahlulbait as adalah meraka2 yang disebuntukan itu.

- Untuk kesaksian 'Aisyah bisa dilihat di: Shahih Muslim, jld. 2, hal. 368; Syawaahidu al-Tanziil, jld. 2, hal. 33 dimana disini ada 9 hadits; Mustadrak Hakim, jld. 3, hal. 147; .....dllnya yang banyak sekali.

- Untuk kesaksian Ummu Salamah ra, bisa dilihat di: Shahih Turmudzi, jld. 5, hal. 31 dan hal. 328 dan 361; Syawaahidu al-Tanziil, jld. 2, hal. 24, disini ada 32 hadits; Tafsir Ibnu Katsiir, jld. 3, hal. 484 dan 485; Tafsir Thabari, jld. 22, hal. 7 dan 8; ...dll yang banyak sekali.

(7). Dan karena di atas sudah dikatakan bahwa imam itu WAJIB MANUSIA (bukan kitab Qur an) dan WAJIB MAKSUM, maka 12 imam yang disebut Nabi saww di shahih Bukhari dan Muslim itu, sudah mesti orang-orang maksum. Nabi saww bersabda:

"Setelah aku ada 12 imam, semuanya dari Qurasy"

(Shahih Bukhari, hadits ke: 7222 dn a7223; Shahih Muslim hadits ke: 3393, 3394, 3398; ....dll-nya di kitab2 yang banyak sekali).

Karena itu pulalah maka Nabi saww mengatakn bahwa imam ke 12 itu adalah Ahlulbait as:

Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi saww bersabda:

"Kalaulau umur dunia ini tidak tersisa kecuali sehari, maka Allah akan memanjangkan -umurnya- sehingga dikuasai oleh seorang lelaki dari Ahlulabaitku dimana akan mengusai gunung Dailam dan al-Qisthanthaniyyah."

Lihat hadits-hadits seperti ini dan yang senada di: Shahih Ibnu Maajah bab al-Jihad dan bab al-Fitan, jld. 3, hal. 177; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hal. 84; Shahih Abu Daud, jld. 27, kitab: al-Mahdi; Mustadrak Hakim, jld. 4, hal. 557; Usdu al-Ghaabah, jld. 1, hal. 259; .... dll yang banyak sekali.

wassalam.

Minggu, 05 Juli 2015

Mengapa Kirim Fatihah Dengan kalimat “Ila Ruhi…”?

Oleh: Ustadz Ma’ruf Khozin


Sudah sering kali ketika tradisi yang sudah menjalar di masyarakat dan itu warisan para ulama yang berdasarkan ijtihad mereka dengan tetap berpegang pada sumber hukum Islam masih ada golongan yang senang sekali mengkritisi dan menganggap sebagai ajaran yang menyimpang atau bid’ah. Salah satunya tradisi mengirim hadiah fatihah kepada mayit dan penggunaan lafal “ila ruhi….”.
Al-‘Allamah Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi al-Hadhrami (1250- 1320) seorang ulama Hadhramaut Yaman mengungkapkan tentang keutamaan hal itu dalam kitabnya:
(مَسْأَلَةُ ب) اْلأَوْلَى بِمَنْ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ لِشَخْصٍ أَنْ يَقُوْلَ إِلَى رُوْحِ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ كَمَا عَلَيْهِ الْعَمَلُ وَلَعَلَّ اخْتِيَارَهُمْ ذَلِكَ لِمَا أَنَّ فِي ذِكْرِ الْعَلَمِ مِنَ اْلاِشْتِرَاكِ بَيْنَ اْلاِسْمِ وَالْمُسَمَّى وَالْمَقْصُوْدُ هُنَا الْمُسَمَّى فَقَطْ لِبَقَاءِ اْلأَرْوَاحِ وَفَنَاءِ اْلأَجْسَامِ (بغية المسترشدين لعبد الرحمن باعلوي الحضرمي 1 / 201)
(Fatwa Syaikh Bafaqih) “Yang paling utama bagi seseorang yang membaca al-Fatihah untuk orang lain adalah mengucapkan: Untuk Ruh Fulan bin Fulan, sebagaimana yang telah diamalkan. Para ulama menggunakan hal tersebut karena dalam menyebutkan nama akan ada kesamaan antara nama dan orangnya, dan yang dimaksud disini adalah orangnya, sebab yang kekal adalah arwahnya, sementara jasadnya akan hancur” (Bughyat al-Mustarsyidin I/201)
Hal ini menunjukkan bahwa kirim pahala Fatihah juga sudah diamalkan oleh para ulama Aswaja di Negeri Yaman.
Hadis membaca surat Al Fatihah untuk yang meninggal dunia
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Main 4/449)[2]
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
“HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan” (Fath al-Bari III/184)
Surat Fatihah Adalah Doa
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah singgah di sebuah kabilah, yang kepala sukunya terkena gigitan hewan berbisa. Lalu sahabat melakukan doa ruqyah dengan bacaan Fatihah (tanpa ada contoh dan perintah dari Nabi). Kepala suku pun mendapat kesembuhan dan sahabat mendapat upah kambing. Ketika disampaikan kepada Nabi, beliau tersenyum dan berkata:
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمُ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Dari mana kalian tahu bahwa surat Fatihah adalah doa? Kalian benar. Bagikan dan beri saya bagian dari kambing itu” (HR al-Bukhari dan Muslim, redaksi diatas adalah hadis al-Bukhari)
Di hadis ini sahabat membaca al-Fatihah untuk doa ruqyah adalah dengan ijtihad, bukan dari perintah Nabi. Mengapa para sahabat melakukannya, sebab hal ini tidak dilarang oleh Rasulullah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam al-Hasyr: 7
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
Yang harus ditinggalkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah! Dalam masalah al-Fatihah ini tidak ada satupun hadis yang melarang membaca al-Fatihah dihadiahkan untuk mayit!
Bahkan membaca al-Fatihah untuk orang yang telah wafat juga telah diamalkan oleh para ulama, diantara ulama ahli Tafsir berikut:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
“(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut” (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Bahkan ulama Salafi yang bernama Syaikh Abdullah al-Faqih berfatwa berpendapat bahwa al-Fatihah bisa sampai kepada orang yang telah wafat,:
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، سَوَاءٌ الْفَاتِحَةُ أَوْ غَيْرُهَا وَإِهْدَاءُ ثَوَابِ قِرَاءَتِهَا إِلَى الْمَيِّتِ جَائِزٌ وَثَوَابُهَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ –إِنْ شَاءَ اللهُ- مَا لَمْ يَقُمْ بِالْمَيِّتِ مَانِعٌ مِنَ اْلاِنْتِفَاعِ بِالثَّوَابِ وَلاَ يَمْنَعُ مِنْهُ إِلاَّ الْكُفْرُ (فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة رقم الفتوى 18949 حكم قراءة الفاتحة بعد صلاة الجنازة 3 / 5370)
“…. Membaca al-Quran baik al-Fatihah atau lainnya, dan menghadiahkan bacaannya kepada mayit, maka akan sampai kepadanya –Insya Allah- selama tidak ada yang menghalanginya, yaitu kekufuran (beda agama).” (Fatawa al-Islamiyah 3/5370)

Minggu, 10 Mei 2015

Sedikit Mengenai Sesat & Kafir

Sebuah Perspektif Muhsin Labib.

Sangka baik memperbaiki diri. Sangka buruk memperburuk diri.
Berikhtiar adalah salah satu bukti sangka baik kepada manusia. Berdoa adalah salah satu bukti sangka baik kepada Tuhan.
Sangka baik mengurangi lawan. Sangka buruk mengurangi kawan. Sangka baik menuai apresiasi. Sangka buruk mengundang klarifikasi.
Menyangka orang lain bersangka buruk terhadapnya adalah sangka buruk ganda.
Yang jadi korban kekerasan ditampilkan sebagai pelakunya. Bagi mereka, korban lebih buruk dari babi, jadi apapun yang dilakukan sah bahkan berpahala.
Sedemikian intensif dan masif propaganda pengkafiran, hingga orang terpelajar yang mestinya rasional melahap habis semua fitnah. Ironis!
Karena sudah melahap habis semua berita manipulatif tentang mereka, para pengkafir dan pensesat yang semula sangat sopan menjadi kasar dan sarkastis.
Dulu, dimana saja, masjid adalah rumah bagi siapa saja. Sekarang mencari tempat terpencil untuk shalat karena mesjid bukan tempat bagi yang “kafir” yang shalat. Tragis!
Sedemikian intensifnya penggambaran manipulatif tentang Syi’ah hingga tidak ada yang merasa perlu mengklarifikasi atau mempertanyakan motif utamanya.
Sedemikian masif pensesatan terhadap Syi’ah hingga orang-orang yang tahu secara jelas fakta sebenarnya tentang Syi’ah pun ikut-ikutan mensesatkannya depan publik.
Sedemikian intensifnya pensesatan dan terlihatnya “restu publik” hingga mengundang empati non Muslim. Saat itu pula “pengkafiran” makin gencar.
Sebagian yang mensesatkan tahu bahwa Hamas yang sunni didukung Iran yang Syi’ah, tapi karena yang tidak ikut mensesatkan akan disesatkan, mereka pun ikut.
Jangan tanya soal karir orang yang dikenal Syi’ah Buka warteg pun takkan laku. Lebih aman ngaku ateis dan agnostik ketimbang dikenal Syi’ah di sini.
Seseorang tanya, pak kapan jadi profesor? Aku jawab, boro-boro jadi prof, jadi doktor aja gak berguna bagi orang “sesat” dan “kafir abis”.
Susah menghadapi pensesatan dan pengafiran kalau penggeraknya negeri petrodolar yang memperlakukan tenaga kerja wanita negeri Muslim sebagai budak.
Sekelompok mengkafirkan. Sebagian mensesatkan. Yang lain malah menyerang. Penguasa “mingkem”. Sisanya awam yang terpengaruh. Welcome to the jungle!
Tragis tapi nyata! Yang jadi korban kekerasan ditampilkan sebagai pelakunya. Bagi mereka, kelompok ini lebih buruk dari babi. Jadi aksi apapun terhadap si kafir sah brpahala.
Silakan rampas ketenangan kami, orang-orang yang sudah terstigma SESAT DAN LEBIH KAFIR DARI ZIONIS tapi biarkan anak-anak kami bergaul dan tak dicemooh sesat!
Awam terpengaruh sekte horor spesialis pembid’ah maulid, pensyirik ziarah, pensesat Sunni dan pengkafir Syi’ah ini hanya karena di pusatnya ada Ka’bah
Tetangga-tetangga terhormat. Silakan kucilkan kami karena dianggap sesat bahkan lebih kafir dari zionis tapi biarkan anak-anak kami tenang dan tak dicemooh sesat!
Singkatnya, ambil soranga buatmu. Atau sekalian borong semua semesta untuk kalian. Kalau kurang, silakan ambil Tuhan untuk kalian saja!
Disini bila tidak mmuji seseorang yang dipuji banyak orang, dianggap pembenci. Disini bila tak memalingkan orang yang dituduh maling banyak orang, dianggap maling.
Heboh soal artis pake handuk lari dari gempa, tapi tuli, buta dan bisu soal kezaliman masif brkedok tablig terhadap segelintir Muslim dari Jakarta sampai Papua.
Dengan intoleransi yang dianggap sebagai kesalehan, belum bisa dianggap sudah berbangsa. Ini mungkin lebih mirip kumpulan orang-orang tanpa sadar jadi korban adu domba.
Perbuatan buruk dihitung dari perbuatannya. Perbuatan baik dihitung mulai dari niatnya.